BERITABANGSA.ID, LUMAJANG – Belum tertangkapnya buron kasus ladang ganja di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Lumajang, menjadi bahan cemoohan dan hujatan netizen di media sosial.
Ada yang menuding larangan untuk menerbangkan drone di wilayah udara Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), bermotif tertentu. Apalagi seperti yang dikutip dari tempo.co menerbangkan drone ditarif Rp2 juta perharinya.
Kepala Bagian Tata Usaha (Kabag TU) TNBTS, Septi Eka Wardani, menyebutkan bahwa aturan baru tak hanya soal tarif, tetapi juga terkait pembatasan lokasi untuk menjaga kesakralan adat setempat dan keselamatan satwa.
“Penggunaan drone hanya bisa di lokasi tertentu agar tidak mengganggu adat Tengger, satwa, dan pengunjung,” kata Ibu Septi Eka Wardani, kepada wartawan waktu itu.
Lokasi ladang ganja ini sangat sulit dijangkau, di hutan lebat dan berada di kemiringan yang curam.
Netizen juga menyoroti ada kerusakan ekosistem di sekitar lokasi ladang ganja di kawasan konservasi TNBTS, sesuai pengakuan polisi hutan (Polhut) dalam persidangan kasus di Pengadilan Negeri Lumajang, Selasa (11/3/2025) lalu.
Dari kesaksian itu terungkap ada 59 titik lokasi penanaman dengan luas total tak lebih dari 1 hektare. Setiap titik berbeda-beda luasannya.
“Ada yang 2 meter persegi, ada yang 4 meter persegi, ada juga yang 16 meter persegi,” kata Yunus menjawab pertanyaan majelis hakim, waktu itu.
Pemilik aku media sosial atas nama Mega Proyek, menuliskan jika secara analisa sederhana atas penemuan rumput surga di gunung Bromo, baru ketahuan itu bukan baru ditemukan.
Sedangkan pemilik akun media sosial atas nama Medan Sulit, juga menuliskan cemoohannya. Menanam ganja sulit dimulai. Mulai dari cari lokasi, buka jalur, observasi, pengolahan tanah, ngatur perairan, treking tanam-panen, distribusi hasil panen, dan pengembangan lahan.
Belum lagi jika lokasi yang didapat sangat tersembunyi dan curam. Belum lagi kalau cuaca sedang ekstrem berbulan-bulan. Belum lagi jika lahan yang dibidik tidak cocok, harus cari lokasi lain lagi. Proses itu tidak akan cukup dilakukan selama 2-3 tahun untuk trial-error.
Kalau kondisi “Singkong” saat ditemukan, tingginya antara 1-2 meter, siap panen. Usia tanaman 5-6 bulan. Artinya ada 2 kali panen dalam 1 tahun.
Jika lokasinya lebih dari dua tempat, artinya waktu panen bisa diatur bergantian. Bisa jadi panen dilakukan setiap bulan dari lokasi yang berbeda. Yang artinya mereka sudah menguasai teknik tanam dan sistem pengelolaannya.

Pemilik akun media sosial atas nama Aturan Baru, menuliskan penutupan jalur pendakian Semeru pertama dilakukan karena pandemi 2020, terus erupsi 2021-2022, dan cuaca ekstrem 2023-2024. Sekalinya dibuka, ada aturan wajib pendamping dengan salah satu alasannya biar nggak tersesat.
Padahal jalur Semeru sangat jelas dan hampir nggak ada percabangan. Jadi khawatir pendaki tersesat kemana? Ke lahan.
Begitu juga dengan larangan penggunaan drone dengan alasan khawatir mengganggu ekosistem dan satwa liar di hutan. Khawatir mengganggu apa? Khawatir kebongkar.
Jika dilihat dari luas lahan “singkong” dan beberapa titik yang ditemukan, kemungkinan ladang itu sudah ada sejak sebelum pandemi. Ingat, membuka lahan baru di trek curam dan tersembunyi itu butuh waktu lama. Apalagi lahannya ada di banyak titik, dan luas.
Netizwn menuliskan, apa iya petani yang baru belajar kemarin sore bisa se-pro itu? Jadi kira-kira sudah berapa tahun mereka ada?
Hal serupa dituliskan oleh pemilik akun media sosial atas nama Sejarah Cirebon, pantesan menerbangkan Drone di Bromo tidak boleh dan mahal. Ini rupanya rahasianya.
Pemilik akun media sosial atas nama Keindahan Nusantara, menuliskan kalau ada berita yang cukup mengejutkan ditemukannya 59 titik ladang ganja di TNBTS. Temuan itu dihasilkan melalui pesawat drone. Beberapa saksi telah diperiksa.
Temuan itu sendiri telah dilakukan pada September 2024 namun baru terkuak secara viral satu dua hari ini. Itu karena sekarang sedang disidangkan di PN Lumajang dengan agenda pembuktian di lapangan.
Adanya berita temuan itu menyebabkan warga pecinta wisata selama ini bertanya-tanya. Mengapa jika berwisata ke Gunung Bromo harus menggunakan pemandu. Harus menggunakan Jeep lokal dan mahal. Tak boleh menerbangkan drone atau bayar Rp 2 juta. Juga obyek itu sempat ditutup beberapa waktu.
Akibatnya masuk ke TNBTS, menjadi mahal. Apakah temuan ladang ganja yang totalnya seluas 1 hektar itu jawabannya???
Dari akun Tribune Pekanbaru menuliskan sejumlah fakta-fakta penemuan ladang ganja di TNBTS ada sekitar 41 ribu batang ganja.
Jejak AO juga menuliskan hal serupa, dengan terungkapnya 59 titik lokasi, bukan 1 atau 2 titik saja dan itu di Kawasan TNBTS. Lucunya, lokasinya sulit dijangkau dan sudah pernah panen raya.
Jadi teringat waktu pembukaan Gunung Semeru, menerbangkan Drone tarif Rp 2 juta/hari dan areanya dibatasi, untuk memastikan tidak terbang ke ladang. Wajib pendamping dengan tarif Rp 300 ribu/hari untuk memastikan pendaki biar tidak kesasar ke ladang.
Pada saat pendakian ditutup kata Netizen, saatnya panen raya. Sistem pendakian digunakan sistem buka tutup pendakian Semeru agar terpantau aman.