Selain itu, hak cuti menstruasi yang diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan juga hampir tidak pernah diberikan.
Menurut pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, buruh perempuan berhak mendapatkan cuti melahirkan selama tiga bulan dengan upah penuh.
Bahkan, dengan adanya UU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang disahkan pada Juli 2024, hak cuti melahirkan kini bisa diperpanjang hingga enam bulan.
Pelanggaran terhadap aturan ini dapat dikenakan sanksi sesuai pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Elsa Ardhilia dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menegaskan bahwa PHK yang menimpa buruh perempuan hamil dan pekerja lainnya ini merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak tenaga kerja.

“Hak maternitas adalah hak mendasar yang melekat pada pekerja perempuan dan harus dihormati oleh perusahaan,” ujarnya.
LBH Surabaya juga menemukan indikasi bahwa setelah PHK dilakukan, perusahaan malah merekrut tenaga kerja baru untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan para karyawan terdampak.
Hal ini menimbulkan dugaan bahwa alasan efisiensi hanyalah dalih, sementara tujuan sebenarnya adalah mengganti pekerja lama dengan tenaga kerja baru yang kemungkinan memiliki upah lebih rendah.
“Jika benar ada perekrutan setelah PHK ini, maka perusahaan bisa diduga melakukan praktik eksploitasi buruh dengan cara yang tidak adil,” tambah Elsa.
Serikat pekerja bersama LBH Surabaya kini tengah mengadvokasi kasus ini agar para pekerja yang di-PHK mendapatkan haknya kembali.
Tiga poin tuntutannya adalah:
– Penghormatan terhadap hak pekerja perempuan, terutama yang sedang hamil dan baru melahirkan.
– Kepatuhan terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait cuti melahirkan dan hak pekerja perempuan.
– Pengembalian hak kerja bagi para buruh yang di-PHK secara sepihak.
Wulandari dan 40 rekan lainnya yang terkena PHK bertekad untuk terus memperjuangkan hak mereka hingga keadilan ditegakkan.
“Kami tidak akan diam. Kami akan berjuang agar hak kami dikembalikan dan mendapatkan keadilan,” tegasnya.
Kasus ini kembali menunjukkan bahwa hak-hak pekerja, terutama perempuan, masih rentan dilanggar.
Apakah perusahaan akan bertanggung jawab atas keputusan ini?
Semua mata kini tertuju pada langkah hukum yang akan diambil oleh para pekerja dan pendamping mereka.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id