“Saya merasa terbebani adanya penjualan LKS. Sebab LKS ini terjadi di lingkungan sekolahan, sehingga terkesan bahwa LKS tersebut adalah produk dari sekolah. Sehingga anak saya takut ketinggalan pelajaran karena LKS tersebut yang digunakan sebagai bahan ajar di sekolah, saya sangat terpaksa membeli LKS tersebut,” ujarnya.
Sebab tidak ada kewajiban LKS, karena itu adalah tugas guru. Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen), Kemendikbud, munculnya LKS ini karena terdapat tugas mandiri yang harus dilakukan peserta didik.
Karena dasar pembuatan LKS itu sendiri adalah pemateri di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), maka sebenarnya sorang guru itu harus mempunyai kemampuan, dalam membuat LKS dan idealnya LKS itu seharusnya dibuat oleh guru. Bukan dibuat oleh orang lain karena guru yang lebih tahu dengan proses pembelajaran di lembaga sekolah masing-masing.
Jadi, sebenarnya larangan sekolah menjual buku LKS merupakan upaya pemerintah untuk melindungi siswa dan orang tua dari praktik komersial yang tidak etis serta memastikan bahwa pendidikan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa beban finansial tambahan.
Selain itu, Permendiknas nomor 2 tahun 2008 tentang buku pada pasal 11 juga melarang sekolah bertindak sebagai distributor atau pengecer buku kepada peserta didik.
Hal ini diperkuat oleh Undang-undang nomor 3 tahun 2017 tentang sistem perbukuan, yang mengatur tata kelola perbukuan secara menyeluruh, termasuk dalam pendistribusian dan pengawasan buku.
Kasus dugaan penjualan LKS ini pun menjadi perhatian publik, mengingat adanya aturan yang secara tegas melarang praktik tersebut.
Diharapkan pihak berwenang segera melakukan klarifikasi dan memastikan bahwa aturan yang berlaku benar-benar ditegakkan demi menciptakan lingkungan pendidikan yang bersih dari praktik komersialisasi.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id