Namun, ia menyoroti kekosongan pengelolaan mulai 31 Desember 2024, karena warga tidak lagi menerima pengelolaan dari PT Tata Kelola Sarana.
“Mereka sudah cacat di mata warga dengan tindakan seperti mematikan lift dan bertindak sewenang-wenang. Kami sudah tidak bisa lagi menerima pengelolaan mereka,” ujar Kristianto.
Kristianto menegaskan, warga Bale Hinggil hanya bertanggung jawab langsung kepada pemerintah, seperti membayar tagihan PLN dan PDAM.
Namun, pengelolaan gedung tetap menjadi tanggung jawab PT TGA hingga warga mendapatkan AJB (Akta Jual Beli) dan SHMSRS (Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun).
“Tujuan utama kami adalah mendapatkan AJB dan SHMSRS. Ketika itu tercapai, warga bisa mengelola sendiri sehingga hidup damai tanpa tekanan,” katanya.

Dalam pertemuan tersebut, pengembang berkomitmen menghadirkan auditor independen untuk memeriksa keuangan terkait service charge yang selama ini menjadi sumber konflik.
Namun, warga tetap waspada terhadap komitmen tersebut.
Lilik Arjianto, Kepala DPRKPP Pemkot Surabaya, mengakui masih banyak yang harus dibuktikan dan diuji dalam konflik ini.
“Masalah kepemilikan harus segera dituntaskan. Developer akan melengkapi pertelaan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persoalan ini,” ujarnya.
Di sisi lain, humas developer enggan memberikan komentar kepada media terkait konflik ini.
Warga berharap agar DPRD Komisi C yang mendampingi proses timeline menuju AJB dapat memastikan semua janji developer terlaksana.
“Kami ingin hidup damai dari warga dan untuk warga,” pungkas Kristianto.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id