Tidak Ada Titik Temu
Mediasi berakhir tanpa kesepakatan. Pihak warga menyatakan kesediaan untuk mengikuti kenaikan service charge jika mekanismenya dijelaskan dengan transparan, namun developer tetap bersikeras bahwa harga yang ditetapkan harus diterima tanpa proses musyawarah.
“Kami hanya ingin tahu mekanismenya. Jika mekanismenya jelas dan hasilnya masuk akal, misalnya naik dari Rp13.500 menjadi Rp15.000, kami siap membayar. Tapi yang terjadi sekarang, mereka memaksakan harga tanpa mekanisme, bahkan mengancam tetap memutus akses jika kami tidak membayar,” ujar Kristianto.
Menurut warga, ancaman pemutusan akses ini bertentangan dengan Peraturan Wali Kota Surabaya serta tidak disebutkan dalam Perjanjian Bersama Jual Beli (PBJB).
“Di PBJB tidak ada klausul yang menyatakan akses bisa diputus jika harga service charge tidak dibayar. Ini jelas tidak adil,” tambahnya.
Kristianto juga menegaskan pentingnya musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah ini.
“Kami hidup di Indonesia, di mana musyawarah mufakat adalah bagian dari budaya dan nilai hukum kita. Jika itu saja tidak dihargai, sebagai warga kecil kami hanya bisa berharap kepada undang-undang dan pemerintah untuk membela kami,” ujarnya.
Warga Bale Hinggil kini menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan konflik ini. Salah satu langkah yang telah dilakukan adalah melaporkan dugaan tidak disetorkannya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sudah dibayarkan warga kepada pihak developer.
“Proses hukum sudah berjalan. Kami hanya tinggal menunggu hasilnya,” ujar Kristianto.
Warga berharap pemerintah kota dapat turun tangan untuk menyelesaikan konflik ini secara adil.
“Kami hanya warga biasa yang ingin keadilan ditegakkan. Semoga ada solusi yang memihak kepada rakyat kecil,” tutup Kristianto.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id