Yuliati mencontohkan, banyaknya kasus putus sekolah dipengaruhi oleh banyaknya pengangguran dari lulusan pendidikan menengah bahkan tinggi.
Untuk itu, ia berusaha menyuarakan pembaruan kebijakan yang lebih efektif dan relevan sehingga menimimalkan masalah putus sekolah.
“Jadi, saya mengkritisi materi kurikulum di masyarakat itu tidak relevan, terlalu banyak mengisi waktu saja, tidak langsung mendorong anak-anak memiliki perspektik yang baik,” tutur Yuliati.
Setelah 25 tahun berkontribusi, ALIT Indonesia kini memiliki delapan cabang, yakni Surabaya, Bromo, Flores, Sumenep, Bali, Lombok, Jember, dan Banyuwangi.
ALIT Indonesia juga telah bekerja sama dengan berbagai lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan, baik nasional dan internasional.
“Kerja sama kita lebih banyak dengan western donor dan UN agency untuk pendanaan. Kita yang kerja sama non pendanaan ya itu terutama dengan pemerintah dan universitas salah satunya Universitas Airlangga,” tutur Yuliati.
Salah satu program terbaru ALIT adalah Dewa Dewi Ramadaya (DDRD). DDRD merupakan hasil kolaborasi antara ALIT Indonesia dengan Kindermissionswerk yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan hidup anak-anak dengan basis budaya lokal guna membangun ketahanan dan kedaulatan.
“Program ini berfokus untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi dan mendorong desa menjadi lebih ramah anak dengan menyelenggarakan kelas merdeka belajar yang mencakup pelajaran tentang life skills, literasi sejarah, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup, dan tradisi lokal,” ucapnya.
DDRD berlangsung di beberapa desa di Kabupaten/Kota Surabaya, Sumenep, Batu, Pasuruan, Jember, Banyuwangi, Gilianyar, dan Sikka. Program tersebut juga bekerja sama dengan Kementerian Desa PDTT dan Kemendikbud-Ristek.