Jika dibandingkan dengan pemberian TTD, MMS lebih efektif dalam menurunkan risiko bayi lahir prematur, bayi lahir kecil, menurunkan BBLR, hingga menurunkan risiko bayi lahir mati (still births) dan kematian bayi dalam usia 0-6 bulan.
“Jika alam persentase, misalnya penurunan kasus BBLR 12% pada ibu hamil yang tidak anemia, dan 19% pada ibu hamil yang anemia ataupun underweight,” papar Prof Mamik.
Setelah menerima penghargaan atas kontribusinya dalam penanganan kasus stunting di Indonesia, Prof Mamik menyampaikan adanya rencana keberlanjutan dari program inovasinya.
“Ada lanjutan kegiatan Desa Emas yang akan dilaksanakan di Bondowoso, khususnya untuk pengabdian masyarakat dengan penyediaan air bersih siap minum di salah satu pondok pesantren di sana,” tutur Prof Mamik.
Kemudian, dalam pemanfaatan micronutrients pada MMS tengah berlansung studi implementasi di 25 kabupaten di Indonesia. Ia juga menambahkan bahwa terdapat kerja sama dengan pihak-pihak lainnya, seperti Jhon Hopkins University, Vitamin Angels, Universitas Indonesia, dan Universitas Hasanuddin.
Melalui penghargaan atas keberhasilan inovasi program yang diusung oleh Prof Mamik selaku guru besar UNAIR tentu menjadi hal yang membanggakan. Sebab, tidak hanya membawa nama Prof Mamik pribadi selaku peneliti, nama UNAIR sebagai instansi pun turut menjadi sorotan baik di masyarakat.
Rektor UNAIR, Prof Dr Mohammad Nasih turut mengapresiasi capaian luar biasa Prof Mamik. Capaian membanggakan guru besar UNAIR itu tentu menjadi bukti bahwa Unair memang pantas menerima penghargaan sebagai universitas peringkat pertama dalam pemberantasan kemiskinan di dunia dari THE Impact Rankings 2024.
“Selamat untuk Prof Mamik untuk capaiannya yang sangat luar biasa dan terus hadir untuk berkontribusi, memberikan makna yang cukup berarti untuk pengembangan komunitas dan peningkatan kualitas kehidupan kita semua,” ujar Prof Nasih.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id