Kedua, lanjut Badruz, kegiatan perdin tidak etis secara sosial-politik karena saat ini banyak hal yang harus ditangani di Sidoarjo dan masyarakat sedang dililit kesulitan ekonomi. Masyarakat mempertanyakan sensitivitas anggota DPRD dengan memboroskan uang daerah sementara banyak hal yang harus diselesaikan oleh pemkab untuk pembangunan.
“Anggota dewan enak-enakan menghabiskan uang APBD, di saat yang sama Pemda juga butuh anggaran banyak untuk pengentasan kemiskinan dan menurunkan angka stunting,” tegas Badruz.
Ketiga, Perdin anggota DPRD sering kali mengingkari transparansi dan akuntabilitas. Karena takut disorot masyarakat, kegiatan studi banding biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi.
“Bahkan, beberapa kali sering terjadi ternyata perdin dewan salah sasaran karena daerah yang dikunjungi merupakan daerah yang levelnya dibawah kabupaten Sidoarjo, sehingga hasilnya sia-sia,” jelas ketua BKNU Sidoarjo itu.
Berbeda dengan Baduzzaman, Direktur Center For Participatory Development (Cepad) Sidoarjo Kasmuin lebih menyoroti anggaran DPRD Sidoarjo untuk kegiatan Narasumber yang nilainya mencapai 18,8 Milar. Kasmuin mengatakan, sebenarnya ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan untuk mengefektifkan kinerja anggota Dewan dari pada memperkaya diri untuk menjadi Narasumber.
Pertama, mengalokasikan anggaran kepada program yang bermanfaat dan menyentuh masyarakat. Daripada hanya menghamburkan anggaran daerah untuk Narsum.
“Dana Narsum yang fantastis itu lebih baik dialokasikan untuk membiayai program-program pengentasan kemiskinan, sehingga kontribusinya bisa dirasakan langsung bagi kesejahteraan rakyat miskin,” kata Cak Kasmuin.